JEJAKINFORMASI.ID Kasus dugaan korupsi kerja sama pengelolaan lahan PT Timah Tbk dan pihak swasta secara ilegal dengan angka kerugian lingkungan mencapai Rp 271.069.688.018.700 atau Rp 271 triliun menyita perhatian publik. Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin bicara soal perhitungan kerugian negara dengan perekonomian negara adalah dua hal yang berbeda.
Maksudnya adalah dengan menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagai tindak pidana kumulatif, penerapan unsur perekonomian negara dalam menghitung hukuman pelaku, serta menjerat korporasi menjadi pelaku tindak pidana sebagai upaya untuk mengakumulasikan pengembalian kerugian negara. Hal tersebut diterapkan untuk kepentingan pemulihan keuangan negara, akibat perbuatan korupsi yang sangat serakah.
"Sejak dikeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No 25/PUU-XIV/2016, yang putusannya menghilangkan frase 'dapat' pada Pasal 2 dan Pasal 3 dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan menjadikan kualifikasi delik korupsi dimaknai sebagai delik materiil, maka kerugian negara harus benar terjadi atau nyata (actual loss). Hal ini menjadi polemik di berbagai kalangan, namun Jaksa Agung menegaskan bahwa perhitungan kerugian negara dengan perekonomian negara adalah dua hal yang berbeda," ujarnya.
Dalam perkara korupsi yang dengan sifatnya extraordinary crime, Kejagung menilai menjadikan pelaku tidak saja berasal dari perorangan saja, tetapi juga melibatkan korporasi atau badan hukum dan konglomerasi atau gabungan antara korporasi yang bekerja sama dengan pengambil kebijakan, sehingga dampaknya terjadi pembiaran dan berkelanjutan.
"Dengan demikian, perhitungan kerugian dalam tindak pidana korupsi tidak bisa hanya dilihat dari pembukuan atau perhitungan secara akuntansi, tetapi harus mempertimbangkan segala aspek dampak yang diakibatkan oleh tindak pidana tersebut, antara lain memperhitungkan pengurangan dan penghilangan pendapatan negara, penurunan nilai investasi, kerusakan infrastruktur, gangguan stabilitas ekonomi, dan lainnya," ucapnya.
Di sisi lain, Kejagung menilai dalam korupsi di sektor sumber daya alam seperti batubara, nikel, emas, timah termasuk galian C, harus juga memperhitungkan kerugian perekonomian dalam perspektif kerusakan lingkungan, yaitu mengembalikan kepada kondisi awal. Selain itu, kerugian juga harus memperhitungkan manfaat yang hilang akibat lingkungan rusak sehingga membutuhkan waktu dan biaya mahal, termasuk kerugian ekologi karena telah mengakibatkan kematian bagi makhluk hidup akibat limbah beracun.
"Selanjutnya, kerugian perekonomian juga mempertimbangkan aspek sosial dan budaya masyarakat setempat, yakni konflik sosial, ketidakstabilan sosial, termasuk menghilangkan pendapatan masyarakat seperti petani, nelayan, dan perkebunan. Hal itu semua tidak mudah untuk dikembalikan seperti sedia kala. Kerusakan ekologi, menurut para ahli, mengakibatkan penurunan kualitas alam dan lingkungan seperti polusi yang mengganggu kesehatan masyarakat, dimana membutuhkan waktu dan biaya mahal untuk merehabilitasinya," jelas Ketut.
"Maka dari itu, dalam setiap kesempatan, Jaksa Agung menyampaikan bahwa korupsi tidak hanya dalam konteks pengadaan barang dan jasa atau suap menyuap, tetapi titik beratnya adalah kerugian negara dan perekonomian negara seperti proyek-proyek strategis nasional yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat. Dalam hal pencegahannya, maka perlu diberikan kebijakan pengamanan dan pendampingan dari aparat penegak hukum," sambungnya.
Oleh karenanya, dalam penegakan hukum khususnya perkara korupsi, menurut Kejagung tidak bisa lagi dilakukan dengan cara-cara konvensional mengingat terjadinya perampasan ekonomi masyarakat, perampokan pendapatan negara, hingga disejajarkan dengan kejahatan kemanusiaan yang sifatnya extraordinary.
"Lebih lanjut, Jaksa Agung menekankan bahwa kejahatan korupsi melemahkan posisi tawar negara dalam pergaulan internasional, sehingga mengakibatkan ketidakstabilan negara secara masif. Sebab, sudah banyak negara yang runtuh akibat terjadinya tindak pidana korupsi yang terjadi secara masif, sistematis dan terorganisir bahkan sudah lintas negara," ucap Ketut.
"Meski demikian, kita tidak boleh kalah dengan koruptor. Kita harus menjadikan pelaku tindak pidana korupsi sebagai musuh bersama (public enemy)," imbuhnya.