Sebelum membahas langkah hukum yang bisa ditempuh, disini ada contoh kasus yang bisa dijadikan perbandingan, yakni;
Seseorang merasa keberatan dengan jiran batas tanahnya, dia mendapati sertipikat tanah atas nama jirannya yang ternyata telah memakan sebahagian tanah atau telah melampaui patok batas tanah miliknya itu. Dia sudah mencoba menempuh cara mediasi, namun tidak menemukan solusi. Lalu apa langkah hukum yang bisa ditempuh oleh orang tersebut?
Sertipikat tanah sebagai bukti otentik atas hak atas tanah, kebenarannya dipandang sempurna menjadi bukti adanya hak, ada juga berpendapat bukti otentik pendaftaran hak atas tanah, intinya otentik. Menurut Pasal 1 angka 20 PP No. 24 tahun 1997 menjelaskan pengertian "Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan."
Yang dimaksud akta otentik diterangkan di dalam Pasal 1868 KUHPerdata yakni; "suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat." Demikian pula lah proses penerbitan sertipikat, sesuai dengan maksud pasal itu sehingga dinobatkan sebagai akta otentik.
Kedudukannya di dalam pembuktian, akta otentik memiliki nilai pembuktian tertinggi atau sempurna atau diakui sempurna kebenarannya. Hal itu sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 1870 KUHPerdata yang pada intinya menegaskan suatu akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.
Namun demikian, kesempurnaan itu masih dipandang relatif atau tidak mutlak karena Sertipikat masih dapat dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, tentunya dengan didasarkan pada dalil dan fakta yang tidak diragukan validitasnya secara yuridis. Hal itu sebagaimana dimaksud di dalam Pasal Pasal 1872 KUHPerdata yang isinya menyatakan "Jika suatu akta otentik, dalam bentuk apa pun, diduga palsu, maka pelaksanaannya dapat ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan Reglemen Acara Perdata."
Dengan demikian dalam penerbitan akta otentik jika terdapat fakta-fakta yang diduga palus maka pelaksanaannya dapat ditangguhkan terlebih dapat dilakukan upaya pembatalan. Untuk itu meskipun kedudukan sertipikat hak atas tanah itu sebagai akta otentik namun masih dapat dilakukan upaya pembatalan terhadapnya.
Bagaimana Langkah Hukumnya?
Kembali kepada contoh kasus pada awal artikel ini, apa langkah hukum yang dapat ditempuh terhadap Sertipikat itu? Menurut KUHPerdata sebagaimana dijelaskan di atas, pemberlakuannya dapat ditangguhkan. Sedangkan dari sudut pandang hukum administrasi, jika proses penerbitannya menyalahi prosedur maka dapat dilakukan pembatalan sertipikat atau pembatalan hak atas tanahnya, tetapi juga dapat dilakukan perubahan atau perbaikan atas data-data yang ada di dalamnya. Untuk itu, ada 2 (dua) langkah hukum yang dapat digunakan yakni:
1. Langkah hukum adminsitrasi
Langkah hukum ini dapat mempedomani dua peraturan yakni [1] Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan (Permen Agraria/BPN No. 9/1999); dan [2] Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan (Permen ATR/BPN No. 11/2016).
Keberatan atas sertifikat yang telah diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan, setiap warga dapat menyampaikan "pengaduan" secara tertulis kepada Kepala Kantor Pertanahan, melalui loket pengaduan, kotak surat atau website Kementerian. Apabila pengaduan disampaikan secara langsung kepada Menteri maka pengaduan itu diteruskan kepada Kepala Kantor di wilayah objek sengketa berada, hal ini sesuai dengan ayat (2) dan (3) Pasal 6 Permen ATR/BPN No. 11/2016.
Dasar "pengaduan (complaint)" adalah cacat adminsitrasi. Maksud cacat administrasi itu telah dirincikan di dalam Pasal 107 Permen Agraria/BPN No. 9/1999 terdiri dari;
Kesalahan prosedur;
Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan;
Kesalahan subjek hak;
Kesalahan objek hak;
Kesalahan jenis hak;
Kesalahan perhitungan luas;
Terdapat tumpang tindih hak atas tanah;
Data yuridis atau data fisik tidak benar; atau
Kesalahan lainnya yang bersifat administratif.
Berkaitan cacat administrasi itu juga dirincikan di dalam ayat (3) Pasal 11 Permen ATR/BPN No. 11/2016, lebih melokalisir bentuk-bentuk cacat administrasi (maladministrasi) yang masuk menjadi kewenangan Kementerian ATR/BPN, yakni:
Kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan dan/atau perhitungan luas;
Kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran penegasan dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat;
Kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak tanah;
Kesalahan prosedur dalam proses penetapan tanah terlantar;
Tumpang tindih hak atau sertifikat hak atas tanah yang salah satu alas haknya jelas terdapat kesalahan;
Kesalahan prosedur dalam proses pemeliharaan data pendaftaran tanah;
Kesalahan prosedur dalam proses penerbitan sertifikat pengganti;
Kesalahan dalam memberikan informasi data pertanahan;
Kesalahan prosedur dalam proses pemberian izin;
Penyalahgunaan pemanfaatan ruang; atau
Kesalahan lain dalam penerapan peraturan perundang-undangan.
Dari alasan-alasan tersebut, permohonan pembatalah hak atas tanah atau pembatalan sertifikat hak atas tanah hendaknya diteliti, alasan mana yang tepat untuk dijadikan dasar permohonan itu. Karena pemohon harus menguraikan secara detail fakta-fakta dan membangun narasi tentang kesalahan atau pelanggaran administratif dalam penerbitan sertifikat itu secara jelas.
Jangan sampai substansi pengaduan tidak termasuk kewenangan Kementerian ATR/BPN, ini berefek ditolaknya pengaduan itu. Nah berkaitan dengan kasus diatas masih termasuk kewenangan Kementerian ATR/BPN, yakni berkaitan dengan poin tentang adanya Kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan dan/atau perhitungan luas.
Pengaduan disampaikan secara tertulis, harus memuat kronologis dan data-data sebagai berikut:
Keterangan mengenai pemohon. Apabila perorangan maka permohonan memuat nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaannya, dan dibuktikan dengan melampirkan [1] foto copy surat identitas (KTP) dan [2] surat bukti kewarganegaraan. Apabila disampaikan oleh badan hukum maka harus memuat nama, tempat kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan dibuktikan dengan melampirkan foto copy akta atau peraturan pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yurisis dan data fisik, yang meliputi keterangan tentang nomor/jenis hak atas tanah, letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau Gambar Situasi sebutkan tanggal dan nomor Surat Ukur) dan Jenis tanah (pertanian/non pertanian). Mengenai tanahnya maka disebutkan nomor/jenis hak atas tanah, untuk itu dilampirkan data-data berupa: [1] foto copy surat keputusan dan atau sertipikat, dan [2] surat-surat lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan.
Lain-lain, yang dimaksukan disini adalah keterangan atau uraian tentang alasan permohonan pembatalan dan Keterangan lain yang dianggap perlu.
Setelah berkas permohonan diterima oleh Kepala Kantor Pertanahan maka dilakukan penelitian terhadap data-data itu, jika dinilai ada kekurangan data fisik ataupun data yuridis maka Kepala Kantor Pertanahan memberitahukannya kepada pengirim pengaduan. Pengaduh dapat melengkapi berkas yang dianggap kurang itu.
Jika data-data pengaduan telah lengkap maka dilakukan proses penelitian dan membahas data fisik maupun data yuridis yang disampaikan. Membahas kebenaran dari pengaduan dimaksud, selanjutnya melakukan langkah-langkah penanganan sengketa itu, seperti melakukan paparan duduk perkara, melakukan survey lapangan, melakukan pengukuran ulang, melakukan mediasi terhadap para pihak yang bersengketa, dan seterusnya.
Output dari langkah-langkah penanganan sengketa itu, Menteri atau Kepala Wilayah BPN akan menerbitkan keputusan (vide; Pasal 24 ayat (1) Permen ATR/BPN No. 11/2016) yang berbentuk:
Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah;
Keputusan Pembatalan Sertifikat;
Keputusan Perubahan Data pada Sertifikat, Surat Ukur, Buku Tanah dan/atau Daftar Umum lainnya; atau
Surat Pemberitahuan bahwa tidak terdapat kesalahan administrasi;
Kewenangan melakukan pembatalan hak atas tanah dipegang oleh menteri, namun demikian dapat dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah atau kepada Pejabat yang ditunjuk, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 105 Permen Agraria/BPN No. 9/1999. Dalam pelaksanaannya berkaitan tentang perubahan data-data pertanahan yang ada di dalam sertipikat tanah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Kembali kepada kasus yang terjadi, berdasarkan bukti-bukti yang disampaikan, penelitian yuridis dan survery lapangan atau peninjauan langsung maka dimungkinkan hasil dari pengaduan itu akan dikeluarkan Keputusan Perubahan Data pada Sertifikat, Surat Ukur, Buku Tanah dan/atau Daftar Umum lainnya. Sehingga tidak ada yang dirugikan dari pihak pengadu maupun teraduh.
2. Mengajukan Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
Sertipikat hak atas tanah adalah produk Pejabat Tata Usaha Negara (TUN). Yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berkaitan dengan upaya hukum mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) maka harus mempedomani UU NO. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan perubahannya.
Sertipikat itu sebagai wujud dari keputusan Pejabat TUN yang bersifat konkrit, individual dan final. Yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Apabila ada pihak yang merasa keberatan atas terbitnya keputusan Pejabat TUN itu maka dapat mengajukan langkah hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). PTUN sebagai lembaga peradilan yang berwenang mengadili sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tetapi perlu digaris bawahi, sebelum mengajukan gugatan ke PTUN maka pihak yang merasa keberatan harus terlebih dahulu mengajukan upaya hukum adminsitrasi yakni mengajukan upaya adminsitratif kepada Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan dimaksud itu. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 6 tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Adminsitratif, yang isinya "Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa administrasi pemerintahan setelah menempuh upaya adminsitratif."
Dalam hal ini, berkaitan dengan seritipikat hak atas tanah maka upaya administratifnya yakni menyampaikan pengaduan tertulis kepada Kepala Kantor Pertanahan yang menerbitkannya atau dimana objek sengketa berada. Apabila tidak mendapatkan penyelesaian maka dapat diajukan gugatan ke PTUN.
Gugatan ditujukan kepada PTUN yang wilayah hukumnya meliputi kedudukan tergugat, memuat identitas para pihak secara jelas dan tepat, menguraikan posita atau uraian tentang kronologis sengketa, pundamentum petendi atau dasar-dasar tuntutan dan memuat petitum atau tuntutan. Berkaitan dengan sertipikat dalam contoh kasus di atas maka petitum gugatan dapat memohon kepada Majelis Hakim untuk memerintahkan kepada Pejabat TUN untuk mengeluarkan Keputusan Perubahan Data pada Sertipikat, Surat Ukur, Buku Tanah dan/atau Daftar Umum lainnya, Keputusan pembatalan sertipikat tanah dan Keputusan pembatalah hak atas tanah. (Red)